Selasa, 05 April 2016

Putri Kentang

Aku tak tahu pasti sejak kapan aku punya kebiasaan seperti ini. Duduk menunggu seseorang tiap sore di teras rumah. Seseorang yang mungkin bagi kebanyakan orang, tidak begitu penting.  Ya, bisa jadi, karena dia memang bukan orang penting seperti para pejabat ataupun artis ibu kota. Namun bagiku, dia teramat penting. Karena dengan memandanginya di setiap sore, membawa gairah tersendiri bagiku, bagi masa depanku tentunya. 

Memperhatikan caranya tersenyum dengan semua orang, membuat hatiku berdesir, apatah lagi saat dia benar-benar menyambutku dengan senyumnya, hatiku meleleh. Ingin langsung kutemui ayahnya, dan mengajaknya ke kantor KUA. Dia gadis bermata bulat, dengan hitung mancung dan bibir merah munggil. Kulitnya tidak terlalu putih memang, namun bersih. Kelihatan sekali dia adalah gadis yang pandai merawat diri. Ah sungguh istri idaman para suami. Kerudung sederhana, yang menjulur ke dada, tidak terlalu panjang memang, tapi cukup menambah anggun penampilan dan pancaran kecantikkannya.

Dia, gadis yang belakangan aku tahu namanya, setelah beberapa waktu lalu aku mengajakknya berkenalan--saat pelanggannya tidak begitu ramai. Vinny namanya. Tapi aku lebih suka memanggilnya Pini, dengan huruf "p" bukan "v". Karena dengan huruf "p" aku merasa dia semakin lucu dengan nama itu. Dan ketika dia bertanya kenapa memanggilnya Pini, maka dengan senyum--menggoda--aku mengatakan bahwa Pini adalah akronim dari Putri Vinny, karena bagiku dia adalah tuan putri, dan aku adalah pangeran yang akan menjemputnya nanti. Dia tersenyum--malu--manis sekali.

Pini, gadis yang tiap sore selalu lewat menjajakan dagangannya di komplek rumahku. Ya, dialah Vinny si penjual kentang, begitu mereka menyebutnya. Aku tak tahu, apakah sebutan "penjual kentang" tepat untuknya atau tidak. Karena Pini bukanlah menjual kentang mentah seperti yang di jual di pasar-pasar atau tukang sayur. Melainkan ia menjual aneka kue--jajanan pasar--yang terbuat dari kentang. Sebenarnya tidak ada yang begitu spesial dari kue-kue dan makanan yang dijajakan Pini, hanya kentang rebus yang ditaburi kelapa dan gula, kentang goreng yang sebelumnya dicampur dengan bahan lain mirip pergedel, dan beberapa makanan lainnya. Namun, karena keramahan pelayanan dan rasa kuenya--yang bagiku sangat spesial karena Pini begitu spesial--maka tak heran, dagangannya selalu saja laris manis.

"Hei, Lang! Ngelamun aja." 

"Eh. Ngagetin aja." Frian tiba-tiba sudah berdiri di sampingku, mendapatiku yang sedang melamun, membayangkan aku dan Pini menjadi suami istri.

"Ngelamun mulu. Masih ngelamuni Vinny? Nggak baik kali ngelamun perempuan, siapa tahu dia udah punya calon."

"Hah? Calon? Serius? Mana mungkin." Aku tak percaya dengan perkataan sepupuku ini, karena yang aku tahu Pini masih sendiri, belum bersuami ataupun punya calon suami.

"Ya, siapa tahu kan... Ada pria gentle yang udah ngelamar dia duluan, daripada kayak lo, yang kerjaannya cuma bisa ngelamun doang," kata Frian dengan wajah menyebalkan. "Lagian, emang Pini suka sama lo? Atau lo udah pernah ngungkapin perasaan ke dia belum?" Sial. Kalimat-kalimat Frian barusan seperti pukulan telak bagiku. Aku hanya bisa terdiam. Frian benar, bahkan hingga kini aku belum sanggup mengungkapkan perasaanku pada Pini.

Oh Piniku... Tak bisakah kau merasakan debaran jantungku setiap membeli kue-kuemu? Setiap sore, aku selalu membayangkan kau menyuapkan kue-kue itu ke mulutku dengan tangan lembutmu. Pernahkah kau mengharapkan hal yang sama?

Tuhan... beri aku kekuatan, aku cinta padanya. Aku cinta gadis kentangku.

Bersambung... 
Baca part 2 di sini.

1 komentar: