Kamis, 28 Januari 2016

Bayang-bayang Marni

Ini adalah Challenge menulis OWOP (One Week One Paper), temanya STORY BLOG TOUR, setiap  member lain yang sudah diberi urutan absen melanjutkan sesuai imajinasinya di blog pribadinya.
Aku Cici mendapatkan giliran untuk membuat episode lima dalam serial STORY BLOG TOUR ini.
Cerita sebelumnya
2. Lisma : Sepenggal Harap
Dan inilah episode lima. Cekidot~
 ***
Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Itulah pepatah yang tepat untuk menggambarkan kondisi Kardi saat ini. Kecelakaan itu membuatnya harus dirawat berbulan-bulan di Rumah Sakit.
Tulang kakinya retak, persendian bahunya bergeser, luka membalut nyaris sekujur tubuhnya termasuk wajah, bahkan sebagian giginya juga ada yang tanggal. 

Kondisi ini membuatnya tidak mampu bekerja sementara waktu. Jangankan untuk menyelesaikan persoalan yang menimpanya di kantor, untuk mempertahankan posisinya di perusahaan itupun ia tak mampu. Tubuhnya yang hanya bisa terbaring di Rumah Sakit, memperlancar makar yang sudah disiapkan teman-teman yang tidak suka dengan kesuksesan yang sudah diraihnya. Habis sudah semuanya. Kardi dipecat dari perusahaan. Tabungannya perlahan terkuras untuk kebutuhan sehari-hari dan untuk biaya pengobatan. 

Sedangkan Marni, atas permintaan Kardi, sudah tidak bekerja semenjak mereka menikah.
"Biarkan aku yang memenuhi kebutuhan keluarga kita sayang. Kau cukup duduk manis di rumah menantikanku pulang kerja, dan menyiapkan diri untuk buah hati kita nanti." Begitu ucapan Kardi kepada Marni dulu, ketika mereka baru menikah. Awalnya Marni menolak, karena dia tetap ingin menjadi wanita karir dan mandiri. Namun Kardi terus meyakinkan Marni, hingga akhirnya Marni luluh.


"Jadi siapa nama ibumu, Nak?" Kardi kembali bertanya kepada pemuda yang duduk di hadapannya. Pemuda yang pagi ini telah mengembalikan semangat dan harapannya. Harapan bahwa surau ini akan dipenuhi oleh orang-orang yang ingin bermunajah kepada Rabb-nya.

Selembar foto hitam putih yang sudah lusuh masih berada di tangan pemuda itu. Ditatapnya lamat-lamat wajah wanita paruh baya di dalamnya. "Nama ibu sa..."

"Pak Kardi... Pak Kardi..."Seorang laki-laki tergopoh-gopoh datang ke surau. Napasnya tak beraturan.

Kardi menoleh ke arah suara. "Sarno? Ada apa, No? Kenapa koe buru-buru? Ada apa?" tanya Kardi heran. Sejenak ia lupa dengan ingatan masa lalunya dan pemuda yang tadi menjadi makmum sholatnya.

"I... Itu Pak, anakku," jawab Sarno dengan napas tersengal.

"Iya, anakmu kenapa?" 

"Anakku panas tinggi, Pak. Dari semalam, dia ngingau terus. Jelang subuh ini makin menjadi. Tolong Pak. Tolong sampeyan obati." 

Kardi memang bukan lulusan sekolah kesehatan, ataupun mantri di dusunnya. Namun semenjak Kardi makin taat beribadah dan menjadi satu-satunya penghuni dusun yang setia menjadi imam sekaligus makmum di surau itu, warga dusun percaya bahwa Kardi bisa membantu mengobati orang sakit. Bermula dari ketidaksengajaannya membacakan Al-Fatihah untuk tetangga yang dijenguknya, dan keesokkan harinya tetangga itu sembuh. Sejak itulah Kardi dipercaya warga bisa menyembuhkan orang sakit. Suatu keahlian yang tak pernah direncanakannya, namun datang begitu saja.

"Yo wes, kita ke rumahmu sekarang," kata Kardi. Sarno mengangguk dan segera keluar surau disusul Kardi.

"Kamu mau ikut, atau menunggu di sini?" tanya Kardi pada pemuda tadi sebelum keluar dari surau.

"Jika diizinkan, saya ikut saja, Pak. Siapa tahu nanti bisa bertemu bapak saya." Kardi mengangguk, membolehkan. Kemudian mereka menyusul ke rumah Sarno yang tidak jauh dari surau.

Sesampainya di rumah Sarno, Kardi langsung meminta segelas air putih, kemudian membacakan Al-fatihah, shalawat dan beberapa do'a lainnya. Dan memberikan segelas air putih tadi kepada anak Sarno, dan menyuruhnya untuk minum.  

"Jangan lupa Bismillah, ndok." Kardi mengingatkan.

"Makasi banyak, Pak. Untung ada sampeyan. Kalau nggak, aku nggak tahu harus gimana." Sarno menjabat tangan Kardi penuh terima kasih.

"Ya sama-sama. Yang bisa ngobati itu bukan aku, tapi Allah. Sebenarnya nggak perlu panggil aku kalau anakmu sakit kayak gini. Kamu aja yang ngobatin, No. Bacain Al-fatihah sama shalawat kayak tadi. Minta sama gusti Allah. In syaa Allah sembuh. Asal yakin."

"Hehe. Iya, Pak. Tapi, bacaan Al-fatihah aku kan nggak sebagus sampeyan, Pak." Sarno menunduk sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.

"Makanya belajar, No. Biar aku ajarin, kalau kamu mau."

"Hehe... Iya, Pak." jawab Sarno malu-malu. "Oh ya Pak, semalam waktu ke warung, aku jumpa sama anak muda. Dia dari kota, katanya ke dusun kita mau cari bapaknya. Cuma aku nggak sempet ngobrol dan tanya-tanya, buru-buru karena anakku sakit. Tapi, yang aku liat semalam, wajahnya mirip sampeyan, Pak. Apa jangan-jangan itu anak sampeyan, yo?"

Kardi tersentak. Sejurus kemudian, ingatannya kembali pada pemuda yang sedari tadi berdiri di belakangnya. 

"No, koe serius? Apa yang koe maksud, pemuda ini?" Kardi menoleh ke arah pemuda yang ada di belakangnya. Sedangkan Sarno baru menyadari bahwa dari tadi ada orang lain selain Kardi di rumahnya. Sarno memperhatikan pemuda itu, mencoba mengingat-ingat.

"Pemuda ini..."

Bersambung...

Untuk tahu kelanjutan ceritanya silahkan kunjungi blog Crafty Rini.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar